Oleh: Muhammad Bulkini
Di hari kedua Idul Fitri kemarin, saya berbincang hampir semalam suntuk dengan KH. Mahmud Hasil. Sejak pukul 10.00 Wita hingga masuk waktu subuh. Setelah subuh, perbincangan kembali dilanjutkan hingga pukul 07.00 Wita.
Topik yang kami bicarakan beragam; satu yang saya ingat adalah terkait kitab barencong.
“Tahun 1973, ada Lailatul Ijtima di Pesantren Ubudiyah, Bati-Bati,” ujar Guru Mahmud. “Topik yang dibahas adalah Kitab Barencong.”
Guru Mahmud mengenang, acara itu digelar besar-besaran. Bahkan tuan rumah, dalam hal ini Tuan Guru H. Anang Ramli menyembelih satu ekor sapi untuk menjamu para ulama dari seluruh wilayah Kalimantan Selatan.
Para ulama dari berbagai kabupaten/kota itu membawa kitab yang dipercaya sebagai kitab Barencong. Setelah dikumpulkan, total ada belasan kitab. Guru Mahmud –yang merupakan murid Guru H. Anang Ramli– diminta sang guru untuk membaca dan meneliti isi kitab tersebut.
Setelah dua hari meneliti kitab tersebut, Guru Mahmud menemui Guru Anang Ramli dan melaporkan hasil penelitian beliau.
“Apakah kitab-kitab itu ada yang sama isinya?” Guru Anang Ramli bertanya pada Guru Mahmud.
“Tidak ada,” kata Guru Mahmud.
“Bakar saja.”
Akhirnya belasan kitab tersebut dibakar, karena tidak memiliki kesamaan isi. Namun demikian, masing-masing ulama yang bersangkutan agaknya masih memiliki catatan simpanan, sehingga kitab yang diklaim sebagai kitab barencong itu masih bisa dijumpai hingga sekarang.
Manurut Guru Mahmud, kitab barencong bukan berbentuk satu kitab utuh, melainkan satu halaman kitab yang disobek. “Itu menurut Guru Anang,” kata Guru Mahmud kemudian. Wallahu’alam. (*)