Oleh: Galih Eko Kurniawan
Hari-hari ini ratusan ribu calon jamaah haji (calhaj) sudah berada di Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah untuk menunaikan rukun Islam kelima, yaitu ibadah haji. Menarik dicermati lontaran kritik yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali dalam karya magnum opus¬-nya, Ihya’ Ulumuddin.
Dengan keras dan lantang Hujjatul Islam itu mengkritik habis-habisan kepada para jamaah haji, baik yang melakukannya untuk kali pertama (haji wajib), terlebih yang berkehendak mengulanginya untuk kali kedua dan seterusnya (haji sunnah).
Terhadap mereka yang berangkat haji untuk kali pertama, al-Ghazali mengritik bahwa di antara mereka itu banyak yang berangkat tanpa terlebih dahulu membersihkan jiwa dan hatinya. Mereka banyak yang mengabaikan aspek-aspek ibadah haji yang berdimensi psikis maupun etis, sehingga ketika sampai di Tanah Suci mereka tidak mampu menjaga kesucian dirinya untuk tidak menghujat, mengolok-olok, dan berkata keji.
Sedangkan bagi mereka yang Ahlul Haj (berkali-kali naik haji), dengan menukil sebuah kisah spiritual bernuansa sufistik, al-Ghazali menyebut orang-orang yang lebih berantusias menjalankan haji ulang daripada memberikan sedekah kepada para tentangganya yang menggelepar kelaparan dan hidup dalam kemiskinan itu sebagai orang yang terpedaya (ghurur), karena mengabaikan skala prioritas dalam beribadah.
Kritik yang dilontarkan oleh al-Ghazali itu sungguh sangat relevan dan signifikan buat kondisi bangsa kita yang kini masih dihadapkan pada persoalan kemiskinan. Hemat penulis, untaian hikmah yang sering dibentangkan oleh kaum sufi itu sebenarnya merupakan reaktualisasi suatu ibadah yang telah lama berkarat, karena terbungkus lumpur kepicikan egoisme sendiri dan arogansi personal yang telah merasa paling Islam.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bila saja ada 10.000 calon jemaah haji ulang bersepakat mendayagunakan dana haji ulangnya, sehingga terkumpul cash money sekitar Rp350 miliar (Ongkos Naik Haji tahun ini sekitar Rp35 juta), lalu dana itu dimanfaatkan untuk mengentaskan rakyat miskin yang menurut data Badan Pusat Statistik kini berkisar 25,64 juta, apakah pahalanya sama dengan melaksanakan ibadah haji? Mungkinkah hukum haji ulang itu bergeser dari sunnah menjadi makruh, atau bahkan haram?
Tiga Kategori
Secara umum, ada tiga kategori pengulangan pelaksanaan ibadah haji. Pertama, mengulangi karena haji yang terdahulu (yang pertama) belum sah lantaran ada beberapa syarat dan rukunnya yang mungkin tidak sempat (lupa) dijalankan. Kedua, mengulangi karena haji yang terdahulu tidak memenuhi syarat dan rukunnya secara sempurna. Namun pelaksana justru merasa belum pas, karena ibadahnya tidak dilakukan dengan khusyuk, misalnya.
Ketiga, mengulangi karena semata-mata untuk memperbanyak amalan sunnah. Dua kategori yang disebut belakangan itulah, yang menurut hemat penulis, relevan dengan kritik al-Ghazali kepada orang-orang yang kemaruk melaksanakan ibadah haji.
Harus diakui, selama ini masyarakat menganggap ibadah haji itu hukumnya wajib dan sunnah bagi yang bermaksud mengulanginya. Para ulama menetapkan hukum wajib dan sunnah tersebut karena mendasarkan pemikirannya kepada Alquran yang dianggapnya qath’i (pasti), sebagaimana firman-Nya : “Allah mewajibkan atas manusia untuk menyengaja bait (pergi ke Baitullah untuk menunaikan ibadah haji) bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke sana” (QS.3:97).
Adapun penetapan hukum sunnah haji ulang didasarkan pada Hadis yang bersifat zanny (belum pasti) yang diriwayatkan Imam Ahmad: “Barangsiapa ingin menambah atau mengulangi ibadah haji itu hukumnya sunnah”.
Meskipun demikian, ada seorang ahli fikih asal Irak, Ibrahim bin Yazid al-Nakha’i, yang hidup pada era pemerintahan Bani Umayyah berpendapat lain. Dia pernah mengeluarkan fatwa hukum bahwa sedekah itu lebih baik daripada haji sunnah. Artinya, mengulangi ibadah haji sesudah haji yang pertama itu hukumnya makruh. Lalu, apa yang dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum (istimbath al-ahkam) haji makruh tersebut ?
Sebagaimana diketahui, dalam menetapkan hukum Islam, jika mujtahid memperoleh petunjuk dalam nash maka operasionalisasi kaidah-kaidah kebahasaan menjadi perhatian utama bagi mereka, seperti hukum wajibnya haji yang ditunjuk oleh Alquran QS.3:97 di atas. Akan tetapi, hukum dasar wajib seperti tersurat dalam nash tersebut, bisa mengalami perubahan ketika dijumpai illat (alasan hukum) yang dapat mempengaruhi hukum dasar itu. Dari sini lalu muncul sebuah kaidah hukum, al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman. Artinya, ada atau tidaknya suatu hukum itu sangat bergantung pada sebab-sebab yang mempengaruhinya.
Berdasar pada kaidah tersebut, bisa saja ibadah haji yang pada asalnya wajib bagi umat Islam yang mampu berubah menjadi haram, misalnya. Dihukumi haram apabila pelaksanaan haji itu justru akan menghancurkan sisi kemaslahatan sebagai landasan pokok pembentukan sebuah rumusan hukum Islam.
Contohnya, mengadakan biaya naik haji dengan cara berutang, sementara potensi untuk membayar utang itu tidak ada. Demikian juga, bila biaya haji itu merupakan komponen fundamental bagi kelangsungan hidup dan kehidupan keluarga, sementara tidak ada sumber lain yang dapat dijadikan sarana meraih kebutuhan primer.
Atas dasar pertimbangan etika dan kemaslahatan serta adanya perubahan ‘illat berupa kebutuhan yang bersifat urgen dan mendesak pada sementara bangsa kita yang kini hidup dalam kemiskinan maka hukum haji ulang yang pada awalnya sunnah, hemat penulis bisa bergeser menjadi makruh, dalam arti lebih baik ditangguhkan atau bahkan ditinggalkan.
Namun harus dipahami, yang menyebabkan makruh itu adalah sikap meninggalkan kemaslahatan yang qath’i (pasti) dengan mendahulukan ibadah sunnah yang penetapan hukumnya berdasarkan dalil zany (belum pasti). Jadi bukan hajinya itu sendiri.
Akhirnya, saya mengimbau kepada umat Islam Indonesia yang telah meraih gelar haji/hajjah dan berkeinginan untuk melaksanakannya lagi untuk kali kedua dan seterusnya, urungkan niat itu. Ikhlaskan dan serahkan saja dana haji ulang itu kepada mereka yang kini tengah tertindas, baik secara ekonomis maupun politis untuk karya-karya yang produktif dan monumental.
Kalau kita berhaji tiga kali, misalnya, kemudian meninggal maka tidak ada lagi nilai tambah bagi ibadah kita. Berbeda bila kita cukup berhaji sekali saja, kemudian dana yang dua kali itu, misalnya, kita gunakan untuk mengentaskan rakyat miskin atau menciptakan lapangan kerja baru, dan orang-orang yang ada di dalamnya menjadi kreatif dan produktif, tentu kita akan tetap memperoleh pahala yang berkesinambungan, meski kita telah terbujur kaku di liang kubur.
Bukankah Nabi SAW hanya sekali menunaikan ibadah haji? Wallahu A’lam.
*Penulis merupakan dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang